Postingan kami?

Gadis Biola


Daunpun mulai berguguran. Oktober yang hangat dari biasa. Cuaca di luar sana menggelitikku untuk keluar flat, berjalan menyusuri kota. Burung-burung gereja riang mengumpulkan makanan sebanyak mungkin sebagai persediaan musim dingin beberapa bulan kedepan. Lembayung senja mulai merayap di angkasa, mengiringi mentari yang menghilang di ufuk barat. Daun-daun dan biji pohon elm berguguran menaburi rambut hitamku yang sedikit basah bagai brownis dengan taburan kacang dan keju.
Ku langkahkan kakiku menyusuri ‘Green Pathway’ trotoar yang dikelilingi pohon-pohon besar, menuju daerah parliament square. Uhmmm, Ku tarik nafas panjang, mengedarkan pandangan di seantero kota, landmark-landmark dan gedung skyscraper London yang beraksen renaissance berserakan di kanan kiri jalan, memenuhi pandangan sejauh mata memandang. Lampu-lampu kota mulai berkedipan di sana-sini berkolaborasi dengan ayunan ranting pohon yang ditinggalkan daun-daunnya.
Entah darimana asalnya, mataku memandang seorang gadis dengan selendang coklat madu yang melingkar menutupi sebagian rambut perunggunya. Dia duduk di kursi kayu oak tepat berseberangan denganku. Wajahnya begitu teduh berhias hidung kecil nan ramping. Wajah itu menghadap jalan raya. Ku amati perawakannya lekat-lekat. Tubuhnya kurus bersanding dengan kotak biola hitam. Kulitnya putih pucat, sesekali rambut merah perunggu itu menyelinap menutupi sebagian wajahnya lantaran tertiup angin musim gugur. Matanya yang hijau dengan semburat biru sarat akan keteduhan dan keanggunan, tapi aku melihat suatu kerapuhan disana. Ya, kerapuhan tersembunyi di balik mata anggun itu.
Ku pandangi gadis itu dari balik pohon elm tempatku berdiri, dia begitu indah terbalut sweter putih gading dengan celana hitam panjang menutupi kakinya yang ramping. Ku dapatinya tersenyum pada setiap orang yang berlalu lalang, seolah ia telah mengenal semua pejalan kaki kota ini.
Sepasang suami isteri berhenti tepat didepannya, sang isteri berbisik padanya, ia tersenyum simpul dan sejurus kemudian sayup-sayup kudengar alunan gesekan biola yang menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya, nada-nada masterpiece mengalun begitu saja, rileks dan bebas bagai angin.
Akupun tertegun, pikiranku melayang. Seandainya aku bisa dapatkan angin itu. Aku bisa menjaganya_ Sang Gadis Biola, menghapus kerapuhan dalam mata hijaunya dan menghias mata itu dengan nuansa kebahagiaan.
Ku kumpulkan segala keberanianku untuk mendekati gadis pemain biola itu. Hatiku berdebat hebat, keberanianku mendorongku untuk melangkah dan mendekatinya. Namun rasa pecundangku menghalauku untuk pergi. “Denni, tetaplah disini, lihatlah dirimu! Apakah dia mau dengan TKI sepertimu. Dia begitu cantik. Sungguh, pasti banyak sekali lelaki menginginkannya. Sekarang, siapa kau. Apa yang kau miliki? Pikiranku melayang ke masa dikala Jainab memutuskan hubungan kami. Materi adalah satu-satunya alasan keputusan menyakitkan itu.
Biarlah keberanianku kalah. Ku pandangi dirinya dari sisi pengecutku, menikmati dirinya dalam kebodohanku. Yang kini menciptakan penyesalan yang meraung-raung karena aku tak dapat lagi memandanginya_ perawakannya menghilang di telan kerumunan orang. Hanya kudapati punggung-punggung manusia yang terpaku akan irama simpony nirwana.
Lembayung senja tak lagi menggantung, Sang mentari telah kembali keperaduannya. Suasana senja kota tersulap merkuri-merkuri dan lampu-lampu kecil kafe dan pertokoan. Alunan lagu surga masih mengalun. Ya, Sang bidadari berhasil mengoyak kalbu setiap anak adam. Menghantar mereka masuk ke dalam setiap buih simpony yang dimainkannya. Membuat mereka terhanyut dalam gesekan lembut biola tua. Dari kejauhan samar-samar kudapati Sang bidadari berdiri, meliuk-liuk mengikuti irama lagu sesekali ia ayunkan bahunya mengupulkan kekuatan dan segenap intuisinya. Kerudung coklat madu yang hanya dilingkarkan dikepalanya kini menggantung dilehernya. Rambut merah perunggu itu terlihat sempurna, diterpa angin malam yang lembut dan cahaya lampu kota. Kini Sang bidadari menggenggam emosi mereka, menghipnotis mereka dengan menebarkan nuansa kedamaian sekaligus memukul sanubari meluluh lantahkan perasaan disaat-saat klimaks lagu. Menyerap segala perhatian dan mengakhiri pertujukkan dengan tepuk tangan yang bergemuruh.

Kuselesaikan semua pekerjaanku satu jam lebih awal. Dentang 16.43 mentaripun mulai bersiap-siap meninggalkan singgasananya. Aku harus menghadiri pembekalan bahasa TKI yang diadakan KBRI dalam satu jam kedepan. Sebelum mentari benar-benar pergi, kuputuskan pergi dengan memilih tube London Underground dan mengambil route Westminster – Victoria St kemudian berpindah tube menuju Oxford circus dan berjalan menyusuri Maddoxs St dan Grosvenor St. Ya, kurasa itu route yang paling efisien.
Ku menunggu di lorong stasiun yang hangat. Dari jalur Embankment, tube merah metalik melaju lambat dan sejurus berhenti. Pintu kereta listrik itu terbuka otomatis. Puluhan penumpang keluar kereta disambut oleh penumpang lain yang hendak bertolak ke tujuan masing-masing termasuk diriku.
Kupandangi wajah-wajah mereka. Sebagian besar dari mereka berkulit pucat, tak sedikit pula yang berkulit gelap. Namun jarang kutemui orang yang berkulit sepertiku, kuning kecoklatan dengan bola mata hitam. Ke terkesiap. Seorang wanita dengan palto cokelat crème dan tangan kiri yang menjinjing kotak biola tengah menerobos kerumunan orang yang hendak keluar tube. Mata hijau dan wajah teduh itu membuatku berdesir. Rambut perunggunya yang panjang terlihat berantakan. Sungguh, dia gadis biola. Entah, bagaimana jalan fikiranku. Tanpa pikir panjang ku ikuti gadis biola itu. Ku melangkah sesuai irama langkah kakinya. Heels sepatu vintagenya menimbulan ketukan beraturan di lantai stasiun. Walau dia berjalan begitu cepat, dia tetap terlihat anggun.
Ku masih menggendap dibelakangnya, menikmati ayunan kaki panjang Sang Bidadari. Di tengah elok ayunan langakahnya, Sang Bidadari berhenti sejenak, sejurus kemudian berbalik memperhatikan diriku, sontak kualihkan pandanganku berlagak menelfon seseorang di sebrang sana. Mungkin dia merasa aku membuntutinya. Namun, tak terlihat ekspresi apapun di wajah teduhnya. Dia berbalik kembali dan malanjutkan jalannya. Syukurlah, dia tak yakin dengan dugaannya itu. Dan aku kembali fokus pada bidadari didepanku.
Di pertigaan Westminster Bidadari itu berbelok ke kanan, kearah jalan Victoria Embankment menyeberang jalanan yang penuh hiruk pikuk kendaraaan, masuk dalam keramaian pejalan kaki dan sejurus kemudian menghilang di telan padatnya manusia. Celingukan ku mencari punggung Sang Bidadari. Damn it. Ku kehilangannya.
“Kau mencariku?” suara sopran lirih bertanya dari balik punggungku. Menggetarkan seluruh bulu kudukku. Sejurus ku berbalik, sosok bidadari itu kini berdiri tepat dihadapanku. Entah harus bagiamana ku jawab pertanyaan itu.
“Ku perhatikan kau bermain di Parliament St kemarin dan itu sungguh mengagumkan.”
“Apakah itu yang membuatmu membuntutiku?”. pertanyaannya begitu lugas dengan tatapan mata yang masih sama seperti dikala itu_ sendu dan rapuh. bibirku masih mengatup, suarapun tak kuasa tuk menjawab_ terbungkam diamku. “Apa yang kau inginkan dariku?” pertanyaan lugas itu terfoto copy begitu saja namun dalam rupa yang berbeda.
“Entahlah. Aku tak tahu.”
Tanpa merespon jawabanku Sang Bidadari berlalu seolah tak ingin tahu lebih jauh tentang keberadaanku yang hanya diam memandangi punggungnya_ yang kian lama kian mengecil.

Aku mondar-mandir di flatku yang kecil. Lampu kamar yang temaram membuat hatiku lebih redup lagi. Entah kenapa, gadis biola itu selalu menyusup bagai bandit di fikiranku. Pertanyaan retorisnya menggema dan melumpuhkan syaraf otakku menguasai sebagian besar ruang hayalku.
Tiba-tiba, perasaan yang mengganjal menyerangku. Entah perasaan apa yang bergemuruh di hatiku, sejurus mendorongku untuk bergegas ke pertigaan Westminster_ tepat dimana aku hanya terdiam menatap punggung Sang Gadis Biola yang berlalu bersama mentari senja dan ditelan hiruk pikuk kepadatan manusia.
Ku berlari mengabaikan segala alasan penyebab gemuruh hatiku. Entah kenapa ada kekuatan besar yang tak kusadari mendorongku untuk secepat mungkin meraih Westminster St. jantungku berdenyut tak karuan, kuhela nafas panjang untuk menstabilkannya.
Kupandangi seantero Westminster St. Lampu rambu lalu lintas berkedipan silih berganti. Tak seperti biasa, jalanan tak begitu ramai. Sedikit terpadati van dan container-container besar. Hanya segelintir pedestrian berlalu lalang di trotoar pinggir jalan. Marka dan zebra cross terbaring jelas di atas aspal yang tak berujung.
Jantungku yang mulai stabil kini berpacu kembali. Mataku terhipnotis oleh sosok gadis yang meninggalkanku dalam diam di persimpangan jalan ini. Dia melangkah gontai melintasi marka jalan. Kepalanya tertunduk, sama sekali tak menyadari akan sesuatu yang mungkin dapat terjadi padanya. Sebuah van besar melaju kencang dari arah utara. Sontak kumenyadari keadaan itu, kuberlari entah dengan kekuatan apa. Yang terekam dalam fikirku hanya keselamatan gadis itu, sekuat tenaga kudorong tubuh kurusnya hingga terpelanting ke trotoar, entah apa yang terjadi dengannya setidaknya itu lebih baik daripada tubuhnya harus terhempas van yang berukuran besar itu.
Namun diriku, aku sendiri tak tahu apa yang terjadi padaku. Seluruh tulangku melebur, terakhir kurasakan tubuhku terhempas setelah sepersekian detik ku dorong tubuh mungil gadis biola itu. Entah bagaimana. Aku lemas, tak sedikitpun kekuatan tersisa. Seolah siang telah tunduk pada malam. Pandanganku kabur dan menghilang. Gelap. Hitam pekat.

Aku tak tahu dimana aku, di ambang kematiankah atau masih adakah harapanku untuk bertahan. Ku merasa ada yang berbeda dengan tangan kananku. Jemariku. Kenapa jemariku. Lumpuhkah aku. Entahlah, aku bahkan tak bisa memastikannya_ sekedar membuka matapun aku tak kuat. Aku hanya mendengar sayup-sayup suara parau dan sopran bersahut-sahutan, terdengar khawatir akan keadaanku dan bingung akan sanak keluargaku.
“Dia belum juga siuman, Claressta. Aku khawatir sekali.”
“Entahlah, Mama. Kita hanya bisa berdoa. Tuhan pasti memberikan yang terbaik.” Suara sopran itu terdengar menyejukkan. “Mama tunggu disini, ya. Aku akan menemui Matthew dulu. Sekalian membeli sandwich. Sejak tadi malam mama belum makan, kan?”
“Pergilah, temui Matthew. Dia mungkin membutuhkamu.”
Sejurus kemudian ku dengar decitan pintu dibuka menyusul ketuk langkah beraturan yang menjauh, kabur dan berlalu di geser waktu.

Akhirnya, perlahan kudapat membuka mata. Ku bisa rasakan udara sejuk AC membelai lembut wajahku yang lengket. Aku tak tahu berapa lama aku telah tidur di atas ranjang. Kini ku dapat melihat langit-langit hijau pupus yang ditempeli beberapa buah LED ukuran kecil melingkari satu buah LED yang berukuran lebih besar.
Sosok wanita paruh baya yang hampir bisa di bilang tua dan berbadan cukup gemuk, terbangun dari lelapnya dan datang mengahampiriku.
“Kau sudah sadar, Nak. Syukurlah.” Suara parau itu menggugahku tuk menyempatkan senyum kecil padanya_ walau kurasa masih cukup berat menggerakkan otot-ototku.
“Claressta pasti senang kau siuman.” Sambungnya dengan wajah berbinar.
Dengan mengerahkan segala kekuatanku, ku coba merespon perkataan itu_namun Berat, sungguh berat.
“Siapa an-da?” ucapku terbata dengan suara parau melebihi wanita tua itu. Ku baru merasakan bahwa tenggorokan ini begitu kering bagai dessert yang tandus. Aku tak sanggup berkata lebih panjang. Belum sempat bibi itu menjawab, kudengar satu suara memanyakan perihal keadaanku.
“Mama, bagaimana keadaan le-laki i-tu?” suara itu, walau tergemap_ bagaikan gemericik air surga yang menyegarkan, melenyapkan dahaga yang mencekikku sedari tadi. Ku bisa melihatnya_ Gadis Biola. Dia tengah berdiri di depan pintu, menghadap ke arahku.
Wajahnya yang lembut bagaikan belaian hujan di padang Sahara. Memberi nuansa kedamaian untukku si buih-buih pasir kering. Dia datang mendekat, merapat ke tempat tidurku, dan kini berdiri tepat di sebelah kiriku. Ku dapat mengamati lekat-lekat wajahnya, tanpa harus takut dia menghindariku. Entah ekspresi apa yang terukir di wajah kusamku, yang pasti segala ekspresi itu terbalut ekspresi bahagia tak tertahankan. Kini aku sadar, aku mencintainya.
Dia menyentuh tanganku kiriku, jemarinya yang lentik menyusuri lekuk jemariku_ menggengamnya begitu erat.
“Maaf. Maafkan aku.”
“Maaf untuk apa?”
Jemarinya kini melepaskan genggamannya dan beralih meraih tangan kananku. Mengangkatnya dua jengkal lebih tinggi dari dadaku. Air matanya berbulir_ jatuh di permukaan tanganku. Dia menangis. Dihadapanku. Aku terpengarah, tangan kananku tumpul, kehilangan telapak serta lima percabangannya. Kemana telapak tanganku. Ya Allah. Inikah caramu mencintaiku, atau malah menghukumku?
“Maaf. Maafkan aku. Harusnya kau tidak menyelamatkanku.” Suara sopran itu kini mulai parau oleh sedu tangis.
Kuterdiam sejenak_ menelan ludah seperti mengumpulkan segala kekuatanku. “Buat apa kau menangisi hal yang telah terjadi.”
“Jika waktu itu kau tidak menyelamatkanku. Kau tidak akan seperti ini.”
“Sudahlah ini memang takdirku. Setidaknya aku bahagia tak terjadi sesuatu padamu.”
“Kenapa kau selamatkan diriku?”
Aku menggeleng, “Entahlah. Aku tak tahu.”
“Tunggu. Kau lelaki yang membuntutiku di Westminster waktu itu kan?” sejenak dia menghentikan perkataannya. “Kenapa kau selalu menjawab tidak tahu dikala ku menanyakan alasan padamu?” tangisnya makin terisak.
Ku hanya terdiam. Menghela nafas panjang dan memejamkan mata untuk beberapa waktu.
“Jawablah! Jawab pertanyaanku. Aku begitu merasa bersalah padamu. ”
“Bersalah untuk apa?”
“Untuk semua ini. Untuk semua yang telah kulakukan padamu.” Semakin banyak buih air mata menyusup dari balik bulu matanya yang lentik. Mengalir sesuai alur ukiran Tuhan pada wajahnya yang indah, melingsir dari sudut hidung rampingnya dan bermuara di jemari ku.
“Jawablah. Kumohon.” Suara lembut itu kian memelas
“Tak semua pertanyaan membutuhkan jawaban, bukan. Sudahlah, biarlah waktu yang memberi tahumu, suatu saat nanti.”
Ku pejamkan mata sekali lagi. Memalingkan wajahku dari sosoknya yang kian kelam dan pilu. Di balik punggungku Sang Gadis semakin menangis dan akupun menangis.

Sekian kali kubuka kelopak mataku. Suasana masih gelap disini. bibi Palesnic yang bersuara parau sekaligus ibu Sang Gadis Biola yang ku tahu bermana Claressta tertidur pulas di sofa. Sungguh sulit menenggelamkan diri dalam tidur nyenyak. Ku ingin tersesat dalam buaian fatamorgana sebuah mimpi hingga kubisa lupakan kejadian pilu dikala itu, kejadian yang kian berderu-deru dalam dimensiku. Menciptakan tanda tanya yang mepermainkanku. Haruskah ku jawab pertanyaan itu. Haruskah kunyatakan perasaanku padanya.
Ku tersungkur dalam lamunan panjangku di kala Sang Gadis Biola membuka pintu kamar ini. Cahaya terang di luar sana menyusup melalui celah kecil pintu yang dibuka, dan kini menghilang lagi dikala pintu di tutup kembali. Dia sama sekali tak menyadari bahwa aku masih terjaga. Dihempaskan tubuhnya yang kurus itu di sudut sofa, bersebelahan dengan bibi Palesnic yang sibuk bermain dengan mimpinya. Lirih, ku bisa mendengarnya merintih. Entah apa alasan rintihannya itu. Yang pasti, aku ingin menenangkannya dalam pelukku.
Sang Gadis Biola masih menagis. Sesaat ku mengerti, inilah kerapuahan yang kutangkap dalam mata hijau itu. Sejurus, diraihnya kotak biola disampingnya, perlahan di gesek untaian dawai biola itu, melahirkan sebuah lagu yang sungguh-sungguh menyayat hati. Aku tak mengerti akan apa yang dialaminya. Tapi kudapat rasakan, alunan lagu ini seolah menguak segala kerapuhan yang dikuburnya selama ini.
“Kenapa kau menangis?” tanyaku memecah keheningan.
“Kau belum tidur?” tanyanya sejurus di susul senyum paksaan yang manis.
“Aku bertanya padamu, jawablah.”
“Terkadang biarkan pertanyaan tetap menjadi pertanyaan.”
“Ya, aku mengerti. Aku takkan memaksamu. ”
“Tidurlah, maaf aku telah membangunkanmu.”
Ku hanya tersenyum singkat dan menatapnya menutup kotak biola itu. Kini kaki panjangnya beranjak meninggalkan kamar ini.
Tubuhnya yang kurus itu benar-benar beranjak. “Aku harus pergi. Istirahatlah.”
“Kemana kau akan pergi?”
Dia hanya tersenyum simpul tanpa kata-kata yang dapat melegakanku.
“Tunggu.”
Sang Gadis Biola menghentikan langkahnya, menatapku penuh tanda Tanya. Kesenyapanpun menyerang.
“Aku mencintaimu, Claressta.”
Suasana kamar yang gelap tersulap menjadi lebih kelam lagi.
“Apa?” tanya yang menjadi jawabnya singkat.
“Aku mencintaimu. Entah sejak kapan aku mencintaimu. Yang kutahu aku begitu mencintaimu, hingga aku tak tahu seberapa besar aku mencintaimu.”
“Kenapa kau mencintaiku?” pertanyaan itu terasa begitu menusuk.
“Apakan cinta butuh suatu alasan?”
“Jangan. Kau tak bisa mencintaiku. Jangan mencintaiku!”
“Tapi…” Sebelum sempat kuselesaikan pertanyaanku, sosoknya telah beranjak meninggalkanku dalam gelap ruang ini berteman pertanyaan yang mencekik.
Ku ikuti perawakannya yang berlari di lorong rumah sakit. Suasana begitu lengang. Hanya terdengar bunyi langkah kaki yang menggema. Kudapatinya memasuki ruang dimana aku tak mengerti alasan dia memasuki ruang itu. Kudapati seorang lelaki tekulai lemah dengan beberapa kabel menempel di dadanya yang pucat. Monitor electrocardiogram disampingnya berdetak pelan dengan garis lancip-lancip naik turun. Sepertinya dia koma.
Setengah berlari Sang Gadis Biola menuju lelaki itu, menggenggam tangannya dan mengecup kening lelaki yang entah menikmati kecupan itu atau tidak. Sang Gadis Biola memandangya dalam, terisak dan sejurus kemudian memeluknya erat.
“Matthew, bangunlah! Seseorang menyatakan cintanya padaku. Bangunlah! Katakan padanya kau adalah suamiku! Bangunlah, Matthew! Bangunlah!” rintihnya dalam peluk lelaki itu.
Sang Gadis Biola menyeka air matanya. Bola mata hijau itu kini menutup. Sejenak, kudengar alunan simfoni dari dalam ruang ini. Simfoni yang begitu berbeda. Bukan alunan simfoni yang menyayat hati seperti apa yang dimainkan dalam gelapnya ruangku bukan pula simfoni yang pernah kudengar di tepi Parliament St. Tapi simfoni penuh harapan yang menuang kedamaian dan begitu hidup. Alunan simfoni paling indah yang pertama kali kudengarkan selama ini. Sejurus, mata hijau itu terbuka dengan hela nafas lega setelah hilangnya nada penutup lagu. Kerapuhan yang biasa kutangkap dalam matanya pun menghilang, berganti kidung harapan yang berkobar.
“Aku. Aku akan menunggumu, Matthew.” Ucapnya dengan tatapan tajam penuh harapan.
Oh, Tuhan. Haruskah luka ini terbuka kembali. Kuterperanjat, sebuah tangan menjangkau pundakku dari belakang. Sontak ku berbalik, bibi Palesnic. Dia berdiri dengan mata yang masih merah dan sedikit berair. Tangannya yang tambun berulang kali mengucek matanya yang masih di timpa kantuk.
“Kenapa kau disini, Nak?”
“Entahlah, Aku mengikuti Claressta. Dan mendapatinya masuk dalam ruang ini.”
“Oh, ini ruang dimana Matthew di rawat. Dia koma selama tujuh tahun ini. Kenapa kau tidak masuk saja?”
“Tidak. Claressta sedang bermain. Dia sungguh menghayati permainannya. Aku tak ingin menggangu.”
“Claressta selalu begitu dalam bermusik.”
“Tapi ini begitu berbeda. Dia bermain melebihi seluruh jiwanya. Entahlah, aku tak pernah mendengar dia bermain setulus ini. Kalau boleh aku tahu, siapa Matthew dan apa hubungannya dengan Claressta?”
“Matthew adalah anakku juga suami Claressta.” Jawaban Bibi Palesnic begitu singkat, sesingkat penjelasan itu meleburkan hatiku untuk yang kedua kalinya.
“Satu tahun setelah mereka menikah, Matthew terserang Alzheimer. Dia sama sekali tak mengenali siapa-siapa termasuk Claressta. Dengan susah payah Claressta mengembalikan ingatan Matthew, salah satu cara dengan menggesek biolanya seperti yang kau dengar. Namun Tuhan berkehendak lain, Matthew jatuh koma setelah satu tahun dia menderita Alzheimer, dan hal itu berlanjut hingga sekarang.”
Bibrku terkatup rapat. Berjuta uneg-uneg berkecamuk dalam kalbuku.
“Berulang kali kuminta Claressta meninggalkan Matthew, namun berulang kali dia menangguhkannya. Dia tetap menunggu kesadaran Matthew. Berharap Tuhan mengembalikan ingatan Matthew. Entah kelak adakah balasan untuk pengorbanannya selama ini atau tidak.” Tutur bibi Palesnic dengan menjatuhkan butir-butir air matanya.
Kesunyian menekan sanubariku. Cinta ini mencabik luka yang sekian lama kucoba sembuhkan. Menyayatnya lebih dalam lagi. Biarlah aku yang jatuh dan terpuruk. Biarlah Sang Gadis Biola bahagia dengan penantiannya. Karena itu yang diinginkannya.
Tanpa disadarinya, Sang Gadis Biola telah menjerat hidupku. Menarik ulur perasaanku dan menambatnya dalam sebuah penantian hingga aku lemah seperti ini. Namun aku tak mungkin meminta pertanggung jawaban akan perasaanku yang tak diinginkannya. Sang Gadis Biola tak memintaku untuk mencintainya. Namun, hatiku tak bisa mengelak untuk mencintanya. Dan inilah jawab yang harus ku terima. Inilah konsekuensi atas keputusanku mencintainya.
Lekat-lekat kupandangi sosok Gadis Biola sekali lagi. Entah sudikah waktu mempertemukan kami lagi. Biarlah aku yang pergi. Karena memang aku yang harus pergi.

0 comments:

Post a Comment