Bidadari
Bergitar
Aku
mengenalmu, atau mungkin menggetahui sosokmu sejak saat itu, sejak saat aku
pertama kali melewati taman yang indah ini. Lalu sosokmu menjelma menjadi sosok
yang menjadi pencarian mataku, yang haus akan anggun wajahmu. Dan telingaku
berbisik menginginkan dawai gitarmu untuk selalu bersenandung menemaniku,
hingga seisi otakku menjadikan namamu sebagai topik bahasnya, menyerukan untuk
selalu melintaskan ragamu dalam khayalnya.
Tahukah
engkau ada orang yang mengamatimu dari sudut sini? Tahukah engkau ada mata-mata
yang selalu mengawasi jemarimu yang memetik gitarmu itu? Tahukah engkau bahwa
ada sesosok orang yang terperanga akan melodi hangatmu? Dan tahukah engkau,
bahwa aku mengagumimu? Kau akan menggetahuinya.
Hingga
akhirnya keingintahuanku pecah, menyeruak keluar untuk mendekatimu. Rasa
ketertarikanku menutupi gengsi serta malu ku, untuk sekadar dapat mengenalmu lebih
jauh, menatapmu lebih dekat, dan menggetahui sosokmu secara lebih detail.
Sampai akhirnya melodi gitarmu memulai rasa, dan kisah kita mulai teruntai
bebas; kisah cinta antara aku, dan kamu, sang Bidadari Bergitar.
Semua
berawal dari sana, saat kau sedang duduk di taman di bangku yang seharusnya diisi oleh dua orang
itu, namun dalam hari-hariku, kulihat kau selalu sendiri disana, sendiri
bersama gitar yang terlihat amat kau sayang. Entah apa yang membuatmu begitu
menikmati kesendirianmu, kupandangi betul gerik tanganmu yang menari diatas
gitar, yang lalu meniupkan melodi sedih nan merdu yang seakan meneriakkan isi
hatimu. Sejuta pertanyaan tersimpan disini. Kukumpulkan keberanianku untuk
menghempaskan rasa penasaranku ini. Hingga saat itu juga kuhampiri dirimu
dengan begitu lancang.
“Kamu pasti
gitaris ya, lancar banget main gitarnya.” Ujarku setelah singgah di hadapannya,
tepat didepan bangku dimana ia duduk. Kau menoleh heran sembari menatapku
sesaat lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, sepertinya takut sapa yang
kulontarkan bukan untukmu.
“Boleh duduk
sini nggak sebentar?” lanjutku dengan sedikit kikuk. Kau tidak langsung
menjawab, kau hanya melempar senyum sembari mengangguk dan menggeser sedikit
posisi dudukmu untuk memberiku tempat.
“Aku baru
belajar beberapa bulan ini kok, lebay deh masa dibilang anak band haha..”
ujarmu menjawab tanyaku dengan sedikit tawa.
“Tapi serius
loh suara petikan gitar kamu itu benar-benar keliatan penjiwaannya, suara kamu
juga bagus, mirip-mirip sama Andien Aisyah.” Jawabku dengan sedikit tersenyum,
kali ini senyumku terbentuk tanpa kusadari. Hei, betapa gembiranya bisa
berbincang dengan Bidadari ini?
“Iramanya
masih semaunya, masih kacau dan suara standar dibilang bagus? Kamu aneh.”
“Ya,
iramanya benar-benar nunjukkin kamu lagi curhat lewat petikan itu, benar-benar
terlihat menjiwai, aku serius ini pendapatku.”
“Oh gitu.”
Pungkasmu sembari kembali memainkan gitarmu itu. Aku seperti melihat ada aliran
kesedihan yang mengalir lewat harmoni gitarmu itu, entah karena apa, aku
merasakannya, merasakan ada bulir kesedihan dalam untaian nada-nada indahmu
itu.
“Aku sering
ngeliat kamu duduk di bangku ini ya, aku ngeliat seperti ada sesuatu dari apa
yang aku lihat ini.”
Lalu, kau
memetik gitarmu sejenak, dengan petikan yang tajam kau utarakan sesuatu yang
entah itu apa, kesedihan, kemarahan, atau apapun itu.
“Ada sedikit
kelegaan ketika aku memetik gitar, aku seakan bisa melampiaskan kemarahanku
lewat gitar ini.” Ujarmu sembari berhenti memetik gitar.
“Tapi kalau
kamu metiknya setajam itu senar gitarmu kan bisa putus,” ungkapku.
Kau hanya
menoleh, sembari sedikit tersenyum pahit. Aku menyadari betul apa yang terjadi,
ada pergolakan besar didalam hatimu yang membuatmu seperti ini.
“Aku ngeliat
kamu lagi mendem sesuatu, ada amarah dalam matamu.” Kataku menerka.
“Tolong jangan sok tahu ya, Mas.”
“Aku cuma ngomong apa yang aku
lihat, aku merasakan kesedihan yang kamu rasa.” Jawabku.
Kau menoleh, lalu terdiam sembari
menatap kebawah.
“Kedatanganku mengusik ya? Maaf ya,
aku pergi aja ya.” Sembari beranjak dan mengangkat tas, aku berjalan lurus
meninggalkannya.
“Tunggu, maafin aku.” Lirihmu dengan
wajah yang terlihat murung.
Aku kembali, dan duduk disampingnya
lagi.
“Pacarku gitaris band, tapi dia
selingkuh, kamu tahu? Kita sudah menjalani hubungan 4 tahun sedari masa putih
abu, tapi berakhir gitu aja karena dia selingkuh. Gimana aku nggak ngabisin
hari-hari aku dalam kegalauan…” Jawabmu bercerita, dengan nada yang lirih.
“3 tahun pacaran terus cowok itu pindah ke
lain hati gitu aja, itu nggak mungkin. Pasti ada sebab akibat.” Jawabku
menduga.
“Alasan dia karena aku terlalu
sering marah-marah dan terlalu egois.” Ujarmu.
“Itu memang sebab utama kenapa
cowok cepat berpindah hati, lelah menghadapi kekasihnya.”
“Menurut aku cowok seperti itu
namanya pengecut, karena sama aja lari dari apa yang harusnya dia genggam.”
“Cowok lebih banyak diam, karena
kalaupun dia berbicara atau marah, ceweknya bakal lebih marah, karena itu cowok
secara mengejutkan udah dapet yang baru aja.”
“Semua cewek emang begitu, cewek
butuh perhatian, cewek butuh kasih sayang.” Lanjutmu.
“Tapi apa caranya harus dengan
egoisme dan emosional?”
“Kamu nggak ngerti, cowok lebih
banyak nggak tau tentang perasaan ceweknya, kadang mereka sibuk dengan dunia
mereka, tanpa mereka tau kalau dijauh sana ada seseorang yang menunggu
kabarnya.” Jawabmu dengan mata berkaca.
“Tapi dengan cara cewek yang cepat
marah dan langsung down mood dengan cepat, itu malah bikin kita para cowok
pusing, sudah lelah dengan aktivitas, ditambah capek pikiran mikirin cewek.”
“Semua cowok emang gitu, nggak
ngerti soal hati dan perasaan. Semarah apapun, seunmood apapun cewek, pasti
kalau cowoknya mau ngertiin perasaannya, ujung-ujungnya kita yang minta maaf,
coba aja kamu rasain apa yang aku rasain.” Katamu dengan bersimbah rintikkan
air mata.
“Maaf, aku nggak bermaksud bikin
kamu kesal dan nangis.” Lirihku.
“Sudahlah, maaf aku emang cengeng.”
Ucapmu dengan nada terisak-isak.
“Emang seharusnya kalau dia emang
benar-benar cinta dia nggak bakalan ninggalin kamu, aku pernah mengalaminya,
hanya saja pada akhirnya aku juga yang diputusin. Tapi dari dia juga aku
belajar mengerti banyak tentang wanita. Sudah jangan nangis lagi.” Ujarku
sembari memberinya sapu tangan.
Kau hanya terdiam sembari menghapus
air matamu dengan sapu tangan yang kuberi.
“Oiya, ajari aku main gitar dong,
aku cuma hafal beberapa kunci dasar.” Kataku sembari mengambil gitar yang
berdiri disebelahmu.
“Pasti kunci
C, D, dan F.” Jawabmu sembari memandangi pemandangan yang ada di taman kampus
ini.
“Satu lagi,
G aku juga bisa, selanjutnya nggak tau lagi hahaha..” jawabku dengan sedikit
tawa. Suasana mulai membaik, aku berhasil mencairkan suasana.
“Menurut aku
cowok yang nggak bisa main gitar itu payah, nggak ganteng.” Pungkasnya dengan
nada menyindir.
“Menurut aku
cewek hebat itu cewek yang bisa ngubah cowok payah jadi cowok keren.” Jawabku
sembari menatapnya.
Kau tak
menjawab, kau hanya menoleh sembari tersenyum. Aku benar-benar melihat
kecantikanmu, kau benar-benar memancarkan senyum kebahagiaan. Aku senang
melihat keadaan ini.
“Gitu dong,
kan cantik.” Ucapku dengan nada mengejek.
“Maksud
kamu?” jawabmu bingung.
“Ya kamu
cantik kalo senyum.” Kataku.
“Memuji
kalau ada maunya, dasar cowok..” Jawabmu sembari mengambil gitar dariku.
“Belajar
gitar itu harus ada kemauan dulu, minimal jari-jari kamu harus biru dulu, baru
deh kamu bisa lancar kedepannya,” lanjutmu sembari kembali memetikkan harmoni
gitarmu.”
Aku tak
berbicara, aku hanya memandangi lekuk wajahmu dan tarian jemarimu diatas senar
gitar. Ah, kau cantik sekali…
“Perhatikan
ini beberapa kunci dasar ya, aku contohin abis itu kamu coba sendiri yaa,”
Katamu sembari sedikit menatapku sejenak.
Aku
mengambil gitar itu dari tanganmu, aku mencoba mengikuti apa yang telah kau
contohkan dengan penuh antusias.
“Ih kamu
kalau main gitar tuh pakai perasaan, jangan seenakmu, lihat saja letak jemarimu
masih berantakan, karena kamu nggak pakai perasaan mainnya, akhirnya jari kamu
nggak mengikuti irama.” Pungkasmu dengan nada cerewet.
“Yaampun
galak banget kamu, aku kan baru belajar, wajar dong kalau salah-salah sedikit.”
Jawabku mengelak.
Kau
menatapku sejenak sembari tersenyum, “Okey aku ajarin dengan halus, letak
jari-jarimu itu tidak sepenuhnya menekan di gitar, kamu harus benar-benar
menjiwai setiap petikan, sini biar aku ajarkan.” Lalu jemarimu mulai menyentuh
jemariku, seketika tubuhku bergetar menanggapi sentuhanmu, aku benar-benar
seakan dibawa terbang oleh seorang bidadari.
Sembari
jemarimu coba merapikan jemariku yang menempel diatas senar gitar, aku terus
memandangi keindahan wajahmu, aku benar-benar puas bisa menatapmu sedekat ini,
bisa berbincang denganmu semesra ini, bahkan aku bisa merasakan hangatnya
sentuhmu. Ah, aku benar-benar sedang melayang sekarang.
“Nah coba
sekarang kamu petik, petik perlahan dengan penuh perasaan, pasti nadanya nggak
akan false deh.” Ujarmu dengan sedikit senyum merona di wajah.
Aku
memetikkan gitar ini, aku merasakan melodiku berbeda ketika aku benar-benar
memetiknya dengan perasaan. Sebelumnya aku pernah mencoba belajar bermain
gitar, namun pada akhirnya aku hanya frustasi karena sering false dalam
memetik. Dan wanita ini benar-benar mengajarkannya padaku, ini membuatku ingin
terus bermain gitar, sampai benar-benar bisa memainkannya.
“Iya ya beda
rasanya, kamu hebat.. Ajari aku terus sampai aku benar-benar bisa memainkannya
ya.” Ungkapku dengan nada lembut.
“Kalo aku
bisa bantu kenapa enggak? Eh iya, udah sore nih mama aku udah nyariin,
kapan-kapan aku ajarin lagi ya.” Ucapmu bergegas bangkit dari bangku ini dengan
terburu-buru.
“Eh tunggu,
kamu pulang naik apa?.” Sanggah ku menanyakannya, tersirat sedikit harapan
untukku untuk bisa mengantarnya pulang.
“Dijemput
mama kok.” Katamu, kau terhenti dari langkah cepatmu, sembari menengok ke
arahku. “Dadah.” Sembari melambaikan tangan.
“Oh… Dadah.”
Jawabku mengangguk.
Momen indah
ini berakhir, sungguh aku masih ingin lebih mengenalmu lagi. Namun rasanya tak
sia-sia aku memberanikan diri tuk menghampirimu, hingga aku bisa sekedar
mengenalmu walau tak sempat menanyakan namamu. Aneh bukan kita belum saling
tahu nama masing-masing? Entahlah, namun aku akan segera menggetahuinya!
Setidaknya
hari ini aku senang, aku bisa merasakan kehangatan bersama wanita seindah
engkau, aku dapat memandangi kesempurnaan wajahmu dari dekat, bisa merasakan
melodi lembut suaramu tanpa sembunyi-sembunyi, dan bisa berbincang denganmu
layaknya seorang kekasih. Hei bidadari, aku ingin mengulangi semua ini lagi!
***
Seminggu telah berlalu
setelah pertemuan kita kala itu. Dalam hari-hariku sepulang kuliah aku selalu
menantimu disini; di bangku tempat kita bertemu kemarin. Namun tak kudapati
batang hidungmu di tempat ini. Kemanakah engkau? Entahlah, aku tetap menanti.
Desis angin
berhampiran menerjang telinga ini di sore ini, aku terus terpaku menunggu di
tempat ini. Akhir-akhir ini aku tetap menunggumu disini, hingga kampus
benar-benar sepi aku baru pergi dari bangku ini. Dalam hari-hariku aku bisa
menghabiskan sekitar 2 jam di bangku ini hanya untuk menanti hadirmu menyapa
sepiku.
Sudah begitu
lama aku tak menemuimu, kau menghilang begitu saja, bahkan aku tak sempat
menggetahui siapa namamu. Kemanakah kamu? Mungkin kamu hanya melintas sebentar
untuk menghiburku. Sudahlah, tak mungkin wanita secantikmu menjadikan pertemuan
singkat itu untuk memulai kisah cinta? Ah, aku mulai tak realistis terhadap
cinta. Mungkin aku terlalu bermimpi tinggi untuk bisa melewatkan hari-hariku
bersamamu…. Entahlah, aku harus sadar!
Hari inipun
tiba, hari dimana aku akan berangkat ke luar kota untuk bekerja. Sebelum aku
pergi aku menitipkan sehelai bunga mawar untuknya yang kutitipkan melalui tukang
sapu yang ada di taman itu, aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan. Sejujurnya
aku hanya ingin mengenalmu jauh, tapi sudahlah mungkin bahkan kau tak
mengingatku, atau bisa saja mengabaikanku bukan? Berat memang meninggalkan kota
ini, namun ini demi karirku kedepan, aku harus menjunjung tinggi
profesionalisme. Selamat tinggal cantik. Selamat tinggal bidadari!
***
2 tahun kemudian…………….
Tempat ini terasa begitu
asing bagiku, sudah sangat lama aku tak melewati tempat ini, tempat ini masih
sama sejuknya, masih sama indahnya. Hanya saja beberapa perubahan terjadi,
hingga mataku sedikit samar untuk mengingat momen 2 tahun lalu------saat
pertama kali kusambangi dirinya, di bangku yang sederhana ini. Mungkin
detik-detik itu sangat bermakna bagiku, hingga aku masih sangat mengingat jelas
apa yang terjadi kala itu, saat kita berbincang berdua.
Dimanakah
engkau kini? Apa kah kabarmu? Masihkah kau mengingatku? Tahukah engkau terkadang dalam kesibukan urusan kerjaku ku
masih sedikit menuai rindu dan mengkhayalkan sosokmu? Hei, aku mulai lagi… Aku
mulai bodoh. “Sudahlah, sudah saatnya mencari cinta sesungguhnya” Kataku dalam
hati.
Tiba-tiba
seseorang seakan menyentuhku dari belakang, membuatku terbangun dari khayalku
yang sedang termenung sendiri di bangku ini sembari menatap kosong.
“Den, Den
masih inget saya?” Ujarnya.
Aku terdiam
sejenak, memandangi sosoknya dari bawah hingga atas untuk mencoba mengenali
siapa lelaki tua yang seakan mengenalku ini. Dan……….. Aku tersentak, mengingat
memori 2 tahun lalu, saat aku menitipkan sehelai bunga mawar pada lelaki tua
ini.
“Pak, bapak
yang waktu itu saya titipi bunga kan? Subhanallah, apa kabar pak?” kataku
sembari berdiri dari bangku yang kududuki.
“Alhamdulillah
sehat-sehat saja Den, bunganya sudah saya sampaikan, wanita itu masih sering
kemari untuk sekedar duduk sembari bermain gitar, ia juga sering menanyaimu,
Den.” Ucapnya.
“Benarkah
pak? Saya sudah kembali ke kota ini sekarang pak, 2 tahun kemarin saya bekerja
di luar pulau. Bagaimana kabar wanita cantik itu, pak?” ujarku
“Dia sering
menanyaimu, beberapa hari sekali ia selalu kemari untuk memainkan gitarnya.
Saya bingung, dia benar-benar terlarut dalam sepinya, dan ia selalu menanyai
kamu Den, ia selalu berpesan untuk memberitahunya jika saya melihatmu, Den.”
Aku terkejut
mendengarnya, aku merenung sejenak. Tak dapat berkata lagi jika membayangkan
orang yang selalu menjadi bunga tidurku itu juga mencariku.
“Saya tidak
menyangka pak, jujur saya sangat merindukannya. Saya ingin menemuinya, namun
bagaimana pak, jangankan menemuinya, mengetahui namanya saja tidak.”
“Percaya
pada cinta Den, tetap tunggu ia disini. Dia pasti datang.” Pungkas lelaki tua
yang benar-benar kukagumi ini.
“Terima
kasih pak, bapak hebat setelah 2 tahun tidak berjumpa bapak tetap terlihat
segar.” Jawabku.
“Bapak
selalu berusaha semangat dalam menjalani pekerjaan bapak ini, setidaknya
pekerjaan ini sangat bapak cintai karena dapat menghidupi istri dirumah.”
Ujarnya.
“Apa bapak
tidak mempunyai anak dirumah?”
“Bapak punya
anak 2 orang, mereka sudah merantau jauh, kadang mereka pulang untuk sedikit
memberi uang untuk bekal kami, Den.”
Mendengar
kata-katanya membuatku tertegun. Hatiku tersapa untuk membantunya, akhirnya
kukeluarkan dompet untuk memberinya sedikit rezeki lebihku.
“Pak, saya
punya sedikit rezeki untuk bapak, diterima ya pak..” kataku sembari mengulurkan
tangan memberinya uang.
“Tidak Den,
saya masih punya cukup rezeki.”
“Sudahlah
pak, ambil saja, anggap ini rezeki dari Allah, ini sudah kewajiban saya untuk
saling berbagi jika punya rezeki lebih.” Ujarku seraya memegang tangannya lalu
kugenggamkan uang ini di tangannya.
“Kamu baik
sekali, Den..”
“Sudahlah
pak, pak mohon maaf saya mau pulang, esok saya kemari kesini lagi.”
“Terima
kasih banyak Den, kamu akan banyak mendapatkan berkah dari Allah.” Ucapnya
sembari menepuk pundakku.
Aku hanya
mengangguk lalu pergi, “assalamualaikum Pak.” Kataku.
“Waalaikumsalam,
ingat apa yang bapak katakan Den, percaya pada cinta.” Ujarnya mengakhiri
percakapan.
***
Desir angin
menerpa, di bangku ini aku berdiam, memandangi keindahan taman, menanti
bidadari yang kurindu, dingin mulai menghantan penantian ini. Dalam lelah
penantian kuberseru ingin memelukmu, pertanda rindu yang kian berteriak,
menyeruak mengalirkan kesedihan. Dimanakah bidadariku berada?
“Meski ku
tak tahu lagi, engkau ada dimana…. Dengarkan aku, ku merindukanmu” akhir dari
lagu band Indonesia D’masiv – Merindukanmu. Nada itu terdengar kencang
berdengung dalam telinga, suara yang tak lagi asing bagi tubuh ini, suara yang
benar-benar menghangatkan, suara yang sudah lama kutunggu hadir… Tak salah lagi
ini suara bidadariku! Segera kucari sumber bunyi ini, hingga aku terhenti
sejenak, memandangi seseorang yang terdiam dibawah pohon sembari menatapiku.
Mataku dan matanya menyatu terfokus berdua, hingga kami mulai menyadari rindu
ini, lalu kuberlari kearahnya, dia berdiri dari duduknya, sepertinya menantiku
menjemputnya. Hingga aku singgah dihadapanmu, kutatap tajam matanya, dia
menatapku dengan lirih, kulihat kilauan kerinduang bergelimang dalam bola
matanya. Tanpa berkata ia memelukku, aku berbalas memeluknya. Kami benar-benar
seolah terbawa arus rindu, dalam peluk kuutarakan rindu yang selama ini
terpendam. “Jangan pergi dari aku lagi ya…..” ucapnya dengan lirih seraya
memelukku semakin erat. “Nggak akan saying, aku akan tetap disini untukmu, aku
akan menjadi pangeranmu kini.” Balasku sembari kubelai rambut halusnya. “Terima
kasih ya, maafkan aku cengeng..” ia melepas peluknya, dengan berurai air mata
ia tertawa perlahan. “Jangan menangis lagi, kamu tidak terlihat cantik dengan
menangis, tersenyumlah sayang.” Kataku. “Aku sayang kamu..” tutupnya sembari
memelukku lagi dengan pelukkan yang lebih erat. “Aku cinta kamu… Sebelumnya
perkenalkan namamu, namaku Rama.” Tutupku. “Namaku Khalisha, I love you Rama.”
Ia melepas pelukku sejenak dan mengucapkan kata-kata itu, lalu ia memelukku
lagi. “I love you Khalisha, mulai sekarang kita akan terus bersama, ya..”
Bersambung….
Muhammad
Shahdan
0 comments:
Post a Comment