Postingan kami?

Bagian Kota Bagian Darimu


Aku melihatmu di tengah hujan.
Namun, kau berlalu begitu cepat. Aku menoleh, mencari dirimu, berharap melihat rambutmu yang hitam kecokelatan di bawah tudung jaket biru itu, namun kau telah tiada. Belasan orang menyapu jalanan, melangkah bersama di bawah guyuran dan dinginnya hujan, dan kau telah tiada. Aku menatap tempatmu berada, tempatmu berlalu beberapa menit yang lalu, atau mungkin beberapa detik? Lebih singkat dari kedipan mata kita? Begitu singkat, hingga seolah tak pernah ada. Dirimu, yang seolah menjadi satu-satunya warna di hitam-putihnya jalan tersebut, mungkinkah hanya sebuah ilusi, atau khayalan?
Dan mungkinkah waktu-waktu yang pernah kita alami bersama, di tengah jalan itu, di bawah hujan, di kota tersebut, bertahun-tahun yang lalu, juga sebuah khayalan?

Jalanan tersebut telah berubah. Aku ingat akan adanya sebuah pohon di ujung jalan tersebut, dengan daun-daunnya yang lebat, batangnya yang sangat besar, menunduk rendah memayungi jalan. Sesekali, kita membayangkan dahan-dahannya adalah tangan, dedaunannya adalah jari-jemari, dan membayangkan usia pohon tersebut yang sudah begitu tua, cukup tua hingga melampaui usia jalan tersebut, kota tersebut, dan semua yang ada di isinya.
Kita membayangkan pohon tersebut, Sang Tua, sebagaimana kita menyebutnya, dengan daun-daunnya dan cabang-cabangnya, membelai para pejalan kaki, melindungi mereka dari terik dan hujan, memberikan peneduh bagi kita di satu hari, di satu hari saat hujan turun begitu derasnya dan pagar-pagar rumah di jalan tersebut menjulang begitu tinggi dan angkuhnya. Di hari itu, pohon tersebut, dengan rendah hatinya dan kemurahannya, menjadi satu-satunya pelindung bagi kita dan para pejalan kaki lainnya. Kita, yang lupa untuk membawa payung. Kita, yang tertawa, bercanda, di bawah pohon besar tersebut.
Kini, tak ada lagi Sang Tua. Namun, rumah-rumah dengan pagar tinggi, angkuh dan menjulang, tersebut masih ada. Di sisi ini, di bagian kota ini, adalah tempat yang asing bagi kita. Dengan rumah-rumahnya yang mewah, megah, bagaikan istana. Dulu, kita merasa nervous. Namun, kita tetap berjalan melewatinya, setiap hari dan setiap waktu. Selain karena jalan tersebut merupakan jalan – bagaimana kau menyebutnya – oh ya, jalan terobos dari sekolah menuju rumah kita, juga karena kita, sebagaimanapun kita merasa tidak enak, dan apapun juga setiap melewati tempat tersebut, kita juga menginginkan tempat tersebut.
Bukan. Bukan sekedar menginginkan. Kita mendambakan tempat tersebut.
Kita mendambakan rumah yang sedemikian besar, demikian indah. Bagai istana yang menjulang, tinggi di atas pegunungan, awan, memayungi semua yang ada di bawahnya. Memberikan teduhan, pelindung, bagi orang-orang lainnya. Kita membayangkan rumah yang demikian besar, hingga dapat menampung kita, seluruh keluarga kita. Para pelayan yang sigap, setia; hidup bagai putri dan pangeran dan raja dan ratu. Kita mendambakan kerajaan kita, membawa keluarga kita, dan diri kita sendiri, untuk meninggalkan bagian kota kita itu.
Dosakah kita untuk mengharapkan hal tersebut? Setelah belasan tahun tinggal di bagian kota kita, salahkah kita untuk berharap bahwa suatu hari nanti kita akan sukses, cukup sukses untuk membawa diri kita ke kehidupan yang lebih baik?
Lalu, kenapa kita harus berpisah seperti ini?
Kenapa kita harus berusaha untuk mencapai hal tersebut dengan mengejar kesuksesan kita masing-masing? Tak bisakah waktu membeku dan membiarkan kita melalui jalan tersebut, bagian kota tersebut, bersama, selamanya? Berdua dengan impian-impian kita, tanpa harus dipisahkan oleh cita-cita?

Ingatkah kau akan bagian kota itu? Dengan gedung-gedungnya yang tinggi, rumah-rumahnya yang bertingkat? Keluarga demi keluarga tinggal di sana, dan kita mengenal beberapa dari mereka. Seorang anak kecil, mungkin berusia satu tahun, yang melihat kita melewati tempat tersebut setiap harinya, sebuah konstanta dalam hidupnya? Ingatkah kau akan hari-hari terakhir kita di bagian kota itu? Anak itu tertawa, mengejar-ngejar kita, dan kita meraihnya dan menggendongnya. Ah, kau yang menggendongnya, ya. Kau selalu yang senang dengan anak-anak, kau dengan hatimu yang lembut, senyummu yang cerah, dan bahagia.
Ada sepasang kakek dan nenek yang tinggal di rumah kecil di bagian kota itu. Si nenek selalu menyapu teras rumahnya di setiap sore, di setiap kali kita melewati rumah mereka, sementara si kakek berkebun di halaman. Rumah mereka, yang kecil, rapi, dan bersih. Sesekali, kita akan bertanya-tanya apakah rumah mereka bisa sebersih itu karena si nenek selalu bersih-bersih setiap hari? Mungkin ya, katamu, tapi jangan lupakan andil si kakek, yang berkebun setiap hari juga.
Di hari-hari terakhir kita di sana, si nenek tersenyum pada kita. Si kakek tak terlihat di halamannya. Barulah beberapa hari kemudian kita mengetahui bahwa si kakek telah meninggal.
“Tidakkah itu romantis?” Kau bertanya padaku.
“Tentu saja,” jawabku. Menghabiskan masa muda hingga tua bersama, dengan usia sebagai satu-satunya pemisah? Tentu saja itu sangat romantis. Maukah kita seperti itu? Namun, aku tak menanyakannya padamu.
Aku masih bertanya-tanya sampai sekarang, apakah jika aku bertanya, segalanya akan berbeda.

Kau tahu, sudah bertahun-tahun berlalu, namun kenangan akan dirimu masih tersisa. Aku mengira, di hari kita berpisah, kau dan aku dengan jalan kita masing-masing, kita takkan bertemu lagi. Kita takkan mengingat satu sama lain, lagi. Untuk apa? Apa alasannya untuk kita bertemu lagi? Tak ada janji yang kita pernah kita buat bersama. Tak ada pakta ataupun sumpah setia. Bahkan perasaanku pun kau tak tahu.
Aku masih bertanya-tanya, apakah jika aku memberitahumu perasaanku, segalanya akan berbeda.
Sepuluh tahun, dan kota ini masih di guyur hujan. Aku berjalan melewati jalan tersebut, jalan kita, bagian kota itu, menuju bagian kota kita, lagi. Sepuluh tahun sudah aku tak mengunjungi kota kita. Begitu banyak yang berubah, begitu banyak yang tertinggal. Seperti kenangan akan dirimu. Seperti fakta bahwa aku masih melihatmu. Dimanapun, di berbagai sudut di kota ini.
Dan lihatlah, aku baru saja melihatmu lagi. Sedang berdiri di depan rumah lamaku, dengan jaket biru yang menudungi kepalamu. Aku melihatmu menoleh kepadaku, aku melihat wajahmu yang telah menua sepuluh tahun, tapi sejujurnya, aku pikir kau tak menua sedikit pun. Waktu tak memiliki kekuatan untuk mengurangi kecantikanmu di mataku. Dan waktu juga tak kuasa untuk mengurangi perasaanku padamu.
Dan lihatlah, aku melihatmu berjalan menghampiriku. Kau tersenyum, dan hujan ini berhenti. Matahari bersinar. Dan saat itulah, aku tahu.
“Hai.” Kau berkata.
“Hai.” Aku menjawab dengan bodohnya. “Kau kembali.”
“Tentu saja,” jawabmu. Kemudian, kau memelukku, memeluk pria bodoh ini, yang belum bisa melupakanmu selama ini. Pria bodoh yang belum pernah mengungkapkan perasaannya padamu, bahkan setelah belasan tahun bersama, bahkan di saat-saat terakhir kita, sepuluh tahun yang lalu, di kota ini, kota kita dengan seluruh bagian-bagiannya. Di bawah awan kelabu, hujan yang rintik, udara yang sejuk, dan matahari yang mengintip dengan cerahnya.
Saat itulah, aku tahu kalau kita akan mendapatkan istana kita. Dan kita akan memilikinya bersama.

0 comments:

Post a Comment